Senin, 23 Mei 2011

Hukum Adat Keluarga


Hukum Adat Keluarga
1.      Hal Keturunan

Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada hubungan darah antara orang seorang dan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur, adalah keturunan yang seorang dari yang lain. Prof Djojodigoeno menggunakan istilah “kewangsaan” untuk “keturunan”. (Soerojo Wignyodipoero, Asas-asas, 1973).
Apakah keturunan ini mempunyai akibat-akibat hukum dan kemasyarakatan? Pada umumnya kita melihat adanya hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan darah, misalnya antara orang tua dengan anak-anaknya. Juga bahwa pada umumnya ada akibat hukum yang berhubungan dengan keturunan, bergandengan dengan ketunggalan leluhur; akibat hukum ini tidak semua sama di seluruh daerah.
Tetapi meskipun akibat-akibat hukum yang berhubungan dengan ketunggalan leluhur ini di seluruh daerah tidak sama, toh dalam kenyataaan terdapat suatu pandangan pokok yang sama terhadap masalah keturunan ini,  yaitu bahwa keturunan adalah merupakan unsur yang hakiki serta mutlak bagi sesuatu klan, suku ataupun kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi penerusnya.
Oleh karena itu, apabila ada sesuatu klan, suku ataupun kerabat yang khawatir akan menghadapi kepunahan klan, suku ataupun kerabat ini pada umumnya melakukan adopsi (pengangkatan anak) untuk menghindari kepunahannya.
Individu sebagai keturunan (anggota keluarga) mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan. Misalnya boleh ikut menggunakan nama keluarga, boleh ikut menggunakan dan berhak atas bagian kekayaan keluarga, wajib saling memelihara dan saling membantu, dapat saling mewakili dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan lain sebagainya.
Keturunan dapat bersifat :
a.       Lurus, apabila orang seorang merupakan langsung keturunan dari yang lain, misalnya antara bapak dan anak; antara kakek, bapak dan anak, disebut lurus ke bawah kalau rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak ke anak, sedangkan disebut lurus ke atas kalau rangkaiannya dilihat dari anak, bapak ke kakek.
b.      Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau sekakek nenek dan lain sebagainya.

Selain keturunan itu bersifat lurus dan menyimpang, keturunan ada tingkatan atau derajat. Tiap kelahiran merupakan satu tingkatan atau derajat. Jadi misalnya seorang anak merupakan keturunan tingkat 1 dari bapaknya, cucu merupakan keturunan tingkat 2 dari kakeknya.
Kita mengenal juga keturunan garis bapak (patrilineal) dan keturunan garis ibu (matrilineal). Keturunan patrilineal adalah orang-orang yang hubungan darahnya hanya melulu melewati orang lelaki saja. Demikian juga keturunan matrilineal adalah orang-orang yang hubungan darahnya hanya melulu melewati orang perempuan saja.
Suatu masyarakat yang dalam pergaulannya sehari-hari hanya mengakui patrilineal atau matrilineal saja disebut unilateral. Sedangkan yang mengakui keturunan dari kedua belah pihak, yang sama nilai dan sama derajat disebut bilateral. (Bushar Muhammad, Asas-asas, 1981).
Dalam masyarakat yang susunannya matrilineal, keturunan menurut garis ibu dipandang sangat penting sehingga menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap di antara para warganya yang seketurunan menurut garis ibu, hal mana menyebabkan tumbuhnya konsekuensi (misalnya dalam masalah warisan) yang jauh lebih banyak dan lebih penting daripada keturunan menurut garis bapak. Begitupun sebaliknya, dalam masyarakat yang susunannya menurut garis keturunan bapak, keturunan pihak bapak dinilai lebih tinggi serta hak-haknya pun lebih banyak.
Lazimnya untuk kepentingan keturunannya, dibuatkan “silsilah” yaitu suatu bagan di mana digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang atau suami / istri, baik yang lurus ke atas, lurus ke bawah, maupun yang menyimpang. Dari silsilah nampak dengan jelas hubungan kekeluargaan yang ada diantara para anggota kekeluargaan tersebut; dan hubungan kekeluargaan ini merupakan faktor yang sangat penting dalam :
a.       Masalah Perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah ada hubungan kekeluargaan yang merupakan larangan untuk menjadi suami-istri (misalnya terlalu dekat, adik-kakak-sekandung, dan lain sebagainya).
b.      Masalah Warisan, hubungan kekeluargaan merupakan dasar untuk pembagian harta peninggalan.

2.      Hubungan Anak Dengan Orang Tuanya

Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam tiap somah dalam suatu masyarakat adat. Oleh orang tua, anak itu dilihat sebagai penerus generasinya, juga dipandang sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya di kelak kemudian hari wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orang tuanya kelak bila orang tua sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri.
Oleh karenanya tatkala anak itu masih dalam kandungan hingga ia dilahirkan, bahkan kemudian dalam pertumbuhan selanjutnya, dalam masyarakat adat terdapat banyak upacara adat yang sifatnya religio-magis dan yang penyelenggaraanya berurutan mengikuti pertumbuhan fisik anak tersebut, dan semuanya itu bertujuan melindungi anak beserta ibu yang mengandungnya dari segala bahaya dan gangguan serta kelak setelah anak dilahirkan, menjadi seorang anak yang dapat memenuhi harapan orang tuanya.
Sudah barang tentu wujud upacara-upacara adat ini tidak sama di tiap daerah. Misalnya sebagai contoh di daerah Jawa Barat, upacara-upacara masyarakat adat Priangan secara kronologis adalah sebagai berikut:
a.      Anak masih dalam kandungan
Pada bulan ke-3, ke-5, ke-7, dan ke-9 diadakan upacara. Khusus yang dilakukan pada bulan ke-7 itu disebut “tingkeb”.
b.      Pada saat lahir
Upacara penanaman “bali” atau kalau tidak ditanam, dilakukan upacara “penghanyutan”-nya ke laut.
c.       Pada saat “tali ari” putus
Diadakan “sesajen”; “tali ari”; yang putus disimpan ibunya dalam “gonggorekan”-nya (kantong obat) serta pada saat itu lazimnya bayi diberi nama.
d.      Setelah anak berumur 40 hari
Upacara “cukur” yang diteruskan dengan upacara “nurunkeun” (=untuk pertama kalinya kaki anak disentuhkan tanah).

Demikianlah perhatian orang tua terhadap anaknya; serta kesemuanya itu hanya dengan satu tujuan yaitu supaya si anak senantiasa mendapat perlindungan dan berkah dari Yang Maha Kuasa dan leluhurnya serta memperoleh bantuan dari segala kekuatan gaib di sekelilingnya. Dan perhatian yang sebesar itu pun diberikan oleh orang tuanya dengan satu alasan yang sama diseluruh daerah, yaitu penegak dan penerus generasinya, kerabatnya, dan sukunya.
Anak yang lahir dalam perkawinan sah antara seorang pria dan seorang wanita , mempunyai ibu sebagai wanita yang melahirkannya, dan bapak sebagai suami dari wanita tersebut. Ini adalah merupakan hal yang normal. Tetapi sayangnya dalam kenyataan tidak semua kejadian berjalan dengan normal. Kita melihat di dalam masyarakat adanya kejadian-kejadian abnormal seperti sebagai berikut:
a.      Anak lahir di luar perkawinan
Bagaimana hubungan si anak ini dengan wanita yang melahirkannya ? Dan bagaimana dengan pria yang bersangkutan ? Dalam hal ini tidak semua daerah mempunyai pandangan yang sama. Di Mentawai, Ambon, Minahasa, dan Timor misalnya, wanita yang melahirkan anak itu dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan. Jadi biasa seperti kejadian normal seorang wanita melahirkan anak dalam perkawinanya yang sah.
Tetapi di beberapa daerah lainnya ada pendapat yang wajib mencela keras si ibu yang tidak kawin itu beserta anaknya. Bahkan mereka semula lazimnya dibuang dari persekutuan (tidak diakui lagi sebagai warga), kadang-kadang malah dibunuh atau seperti halnya di daerah kerajaan dahulu mereka dipersembahkan kepada raja sebagai budak.
Untuk mencegah nasib si ibu beserta anaknya yang malang ini, terdapat suatu tindakan adat yang memaksa i pria yang bersangkutan untuk kawin dengan wanita yang telah melahirkan anak itu. Jadi si pria yang bersangkutan diwajibkan melangsungkan perkawinan dengan wanita yang karena perbuatannya menjadi hamil dan kemudian melahirkan anak itu. Tindakan seperti ini selalu diambil oleh rapat marga di Sumatra Selatan. Bahkan di Bali, di daerah ini apabila orang yang dimaksud tidak mau mengawini wanita yang telah melahirkan anak itu, ia dapat dijatuhi hukuman.
Disamping kawin paksa disebut di atas, adat mengenal juga usaha yang lain yaitu dengan cara mengawinkan wanita yang sedang hamil itu dengan salah seorang laki-laki lain. Maksudnya supaya anak dapat lahir dalam masa perkawinan yang sah, sehingga anak itu menjadi anak yang sah. Cara demikian ini banyak dijumpai di desa-desa di Jawa (disebut nikah tambelan) dan di tanah suku Bugis (disebut pattongkog sirik).
Tetapi maskipun telah dilakukan berbagai upaya adat seperti tersebut di atas, semuanya itu toh tidak dapat menghilangkan perasaan dan pandangan yang tidak baik terhadap anak yang dilahirkan itu. Anak demikian ini di Jawa disebut “anak haram jadah”, di Bali “astra”. Kadang-kadang diperlukan adanya pembayaran ataupun sumbangan adat, supaya diperbolehkan hidup tetap dalam persekutuan.
Kemudian bagaimanakah hubungan antara anak dengan pria yang tidak / belum kawin dengan wanita yang melahirkannya itu ? Di Minahasa hubungan antara anak dengan pria dimaksud adalah biasa seperti antara anak dengan bapak. Di daerah lainnya anak yang lahir di luar perkawinan demikian ini secara adat, tidak mempunyai bapak. Dalam masyarakat yang beragama kristen misalnya di Ambon, anak yang lahir di luar perkawinan seperti ini, tetapi kemudian wanita dan pria yang bersangkutan kawin maka anak tersebut di sahkan (di Ambon disebut “di-erken” (diakui))

b.      Anak lahir karena zinah
Apabila seorang istri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang pria lain bukan suaminya, maka menurut hukum adat suaminya itu menjadi bapak anak yang dilahirkan olehnya, kecuali apabila sang suami ini berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima, dapat menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh istrinya karena zinah ini.
Dalam hukum adat tidak ada kebiasaan seperti halnya dalam hukum Islam yang menetapkan waktu lebih dari enam bulan setelah nikah sebagai syarat kelahiran anak agar diakui sebagai anak yang sah. Memang harus diakui, bahwa ketentuan dalam hukum Islam ini, di sana-sini  diresepsi oleh hukum adat yang berlaku. Tetapi yang pasti adalah bahwa ketentuan dalam hukum Islam ini sama sekali tidak mempengaruhi lembaga adat “kawin paksa” dan “kawin darurat”, “nikah tambelan” atau “pattongkog sirik” tersebut diatas.

c.       Anak lahir setelah perceraian
Anak yang dilahirkan setelah bercerai, menurut adat mempunyai bapak bekas suami wanita yang melahirkan itu, apabila kelahirannya terjadi masih dalam batas-batas waktu mengandung.
Pada waktu yang lalu masih banyak dijumpai seorang laki-laki yang memelihara selir di samping istrinya sendiri. Anak yang lahir dari selir-selir ini mempunyai kedudukan serta hak-hak (misalnya hak warisan) yang tidak sama dengan anak-anak dari istri yang sah. Anak-anak dari istri tersebut ini mempunyai hak-hak yang lebih banyak.
Hubungan anak dengan orang tua (anak dengan bapak atau anak dengan ibu) ini menimbulkan akibat-akibat hukum sebagai berikut:
a.       Larangan kawin antara anak dengan bapak atau anak dengan ibu.
b.      Saling berkewajiban memelihara dan memberi nafkah.
Menurut hukum adat di Jawa yang bersifat parental, kewajiban untuk membiayai penghidupan dan pendidikan seorang anak yang belum dewasa, tidak semata-mata dibebankan kepada ayah anak tersebut, tetapi kewajiban itu juga ditugaskan kepada ibunya. Apabila salah seorang dari orang tuanya tidak menepati kewajibannya, hal itu dapat dituntut mengenai biaya selama anak tersebut masih belum dewasa.
Hubungan hukum anak-orang tua ini, dalam berbagai lingkungan hukum adat secara formal dapat ditiadakan atau lebih tepat dikorbankan dengan sesuatu perbuatan hukum, misalnya anak itu “dibuang” oleh bapaknya (tidak diakui lagi sebagai anak oleh bapaknya). Perbuatan ini di Bali disebut “pegat mapianak”, sedangkan di Angkola disebut “mengaliplip”.
Ada pula kebiasaan yang mempercayakan pemeliharaan anaknya itu kepada orang lain. Anak yang pengasuhnya dipercayakan kepada orang lain demikian ini, setiap waktu dapat diambil kembali oleh orang tuanya. Lazimnya (di Jawa dan beberapa daerah lainnya) orang lain itu adalah seorang warga keluarga yang agak berada. Dan alasan pengasuhan anak dipercayakan kepada orang lain itu pada umumnya orang tua yang bersangkutan tidak atau kurang mampu untuk memenuhi kewajiban orang tua terhadap anaknya, yaitu membesarkan anaknya hingga dewasa.

3.      Hubungan Anak Dengan Keluarga

Pada umumnya hubungan anak dengan keluarga ini sangat tergantung dari keadaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan, khususnya tergantung dari sistem keturunan. Seperti yang diketahui, di Indonesia ini terdapat persekutuan-persekutuan yang susunannya berlandaskan tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu, garis keturunan bapak, dan garis keturunan bapak dan ibu.
Dalam persekutuan yang menganut garis keturunan bapak-ibu, maka hubungan anak dengan keluarga dari pihak bapak ataupun dengan keluarga dari pihak ibu adalah sama eratnya ataupun derajatnya. Dalam susunan kekeluargaan yang bilateral demikian ini, maka masalah-masalah tentang larangan kawin, warisan, kewajiban memelihara dan lain-lain hubungan hukum terhadap kedua belah pihak kekeluargaan adalah sama kuat.
Lain halnya dalam persekutuan yang sifat susunan kekeluargaan adalah unilateral yaitu patrilineal (garis keturunan bapak) atau matrilineal (garis keturunan ibu). Dalam persekutuan-persekutuan yang demikian ini, maka hubungan antara anak dengan keluarga dari kedua belah pihak adalah tidak sama eratnya, derajatnya, dan pentingnya.
Dalam persekutuan yang matrilineal hubungan antara anak dengan keluarga dari pihak ibu adalah jauh lebih erat dan jauh dianggap lebih penting daripada hubungan antara anak dengan keluarga pihak bapak. Demikian sebaliknya dalam persekutuan yang patrilineal, hubungan dengan keluarga pihak bapak dianggapnya lebih penting derajatnya.
Tetapi yang perlu ditegaskan bahwa dalam persekutuan yang sifat hubungan kekeluargaannya unilateral ini, bukan berarti bahwa persekutuan-persekutuan yang dimaksud, hubungan kekeluargaan dengan keluarga pihak lain tidak diakui. Hanya saja sifat susunan kemasyarakatan yang unilateral itu menyebabkan hubungan keluarga dengan salah satu pihak menjadi lebih erat dan lebih penting. Di Minangkabau (matrilineal) misalnya keluarga pihak bapak yang disebut “bako-baki” dalam upacara-upacara selalu hadir, bahkan kadang-kadang kerabat dari pihak bapak ini memberi bantuan dalam memelihara anak.
Di Tapanuli pada suku Batak (patrilineal) keluarga pihak ibu khususnya bagi para pemudanya, pertama-tama diakui sebagai keluarga dari lingkungan mana mereka harus mencari bakal istrinya. Persekutuan keluarga ibunya merupakan apa yang disebut “hula-hula” (istri), sedangkan keluarga bapak merupakan “boru”nya (suami).

4.      Memelihara Anak Piatu

Apabila dalam suatu keluarga, salah satu orang tuanya, bapak atau ibunya tidak ada lagi, maka kalau masih ada anak-anak yang belum dewasa, dalam susunan keturunan yang parental, maka orang tua yang masih hidup yang memelihara anak-anak tersebut lebih lanjut sampai dewasa. Jika kedua-dua orang tua sudah tidak ada lagi, maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan itu adalah salah satu dari keluarga dari pihak bapak atau ibu yang terdekat serta biasanya juga yang keadaannya paling memungkinkan untuk keperluan pemeliharaan itu.
Dalam hal ini, pada umumnya sangat menentukan lingkungan di mana anak-anak tersebut dipelihara semasa orang tuanya masih hidup. Kalau pengasuhan sebelumnya dilakukan dalam lingkungan keluarga pihak ibu, maka setelah ditinggalkan orang tuanya, anak-anak yang belum dewasa itu sudah bisa hidup di kalangan kerabat pihak ibu, sehingga mengingat akan hal ini, demi kepentingan anak-anak sendiri lazimnya pemeliharaan seterusnya dilakukan oleh seorang warga keluarga pihak ibu. Dan demikian pula sebaliknya.
Bagaimana halnya, apabila dalam keluarga yang menganut susunan unilateral salah seorang dari orang tuanya meninggal dunia, sedangkan masih ada anak-anak yang belum dewasa ?
Di Minangkabau (matrilineal),  jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya meneruskan kekuasaannya terhadap anak-anaknya yang masih belum dewasa itu. Jika ibunya yang meninggal dunia, maka anak-anak tetap berada pada kerabat ibunya serta dipelihara seterusnya oleh keluarga pihak ibunya. Sedangkan hubungan antara bapak dengan keluarga ibu anak-anaknya dapat terus dipelihara oleh si bapak.
Di Tapanuli (patrilineal), jika bapaknya meninggal dunia, ibunya meneruskan memelihara anak-anaknya dalam lingkungan keluarga bapaknya. Jika janda itu ingin pulang ke lingkungan sendiri ataupun ingin kawin lagi, maka ia dapat meninggalkan lingkungan keluarga almarhum suaminya, tetapi anak-anaknya tetap tinggal dalam kekuasaan keluarga almarhum suaminya.
Ketentuan-ketentuan dalam keluarga yang bersusunan unilateral, selanjutnya mengalami pengaruh-pengaruh yang lambat laun menyebabkan adanya penyimpangan penyimpangan. Misalnya apabila hubungan keluarga antara anak-ibu-bapak itu berhubung dengan satu dan lain hal menjadi jauh lebih erat daripada dalam keadaan biasa, maka lazimnya, apabila ada salah satu dari orang tuanya meninggal dunia, demi kepentingan anak-anaknya kekuasaan orang tua terhadap anak-anak tersebut dilakukan oleh orang tua yang masih hidup dalam suasana kehidupan kekeluargaan yang sudah biasa mereka alami hingga sampai saat itu. Ini berarti, bahwa dalam keluarga yang berasal dari masyarakat patrilineal, apabila bapaknya meninggal dunia, anak-anak yang masih belum dewasa, demi kepentingan mereka, pengasuhnya sampai menjadi dewasa dapat terus dilakukan oleh ibunya dan anak-anak itu dengan ibunya tetap merupakan suatu keluarga yang berdiri sendiri.
Akhinya apabila dalam keluarga yang bersusunan  unilateral itu kedua-dua orang tua itu meninggal dunia, maka kekuasaan orang tua terhadap anak-anak yang ditinggalkan selanjutnya berada pada keluarga pihak bapak jika keluarga tersebut keluarga patrilineal, dan berada pada pihak ibu jika keluarga tersebut keluarga matrilineal.

5.      Sistem Kekeluargaan
Terdapat  3 bentuk  sistem kekeluargaan :
1. Unilateral  :  sistem kekeluargaan dimana masyarakatnya hanya  menarik satu garis keturunan. Ada 2 macam yaitu :
Ø  Patrilineal : Hubungan kekeluargaan ditarik dari garis keturunan Ayah saja (satu klan-satu keluarga) contoh : masyarakat Tapanuli, Nias, Maluku Utara, Maluku Selatan.
Patrilineal terbagi menjadi : 
-          Patrilineal murni: batak, Nias
-          Patrilineal beralih-alih: Bali, Lampung, Bengkulu
Ø  Matrilineal : Hubungan kekeluargaan ditarik dari garis keturunan Ibu. Contoh : masyarakat adat Minangkabau (sumatra barat).

2. Bilateral : sistem kekeluargaan dimana masyarakatnya dapat menarik garis keturunan baik dari garis Ayah (laki-laki)  maupun garis Ibu (perempuan).
Ciri2  bilateral:
* Menarik garis keturunan dari pihak laki2 maupun perempuan
* Kedudukan  anak laki2 dengan anak perempuan sama
* Tidak mengenal  klan.
* Dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
   Contoh : masyarakat Jawa, Kalimantan.

3. Double Unilateral  : sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari satu garis keturunan saja untuk hal-hal tertentu (ayah) dan satu garis keturunan lainnya  (ibu)  untuk hal lainnya (unilateral tidak murni). Contoh Masyarakat adat Timor dimana sebagian anak menarik garis keturunan dari pihak ayah dan beberapa anak lagi menarik keturunan dari garis Ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar